Carl Gustav Jung
I.
PENDAHULUAN
Carl Gustav Jung lahir pada tanggal 26 Juli 1875 di
Kesswil dan meninggal pada tanggal 6 Juni 1961 di Kusnacht, Swiss. Ia lulus
dari fakultas kedokteran universitas Basle pada tahun 1900. Tahun 1906 ia mulai
tulis menulis surat dengan Freud hingga tahun 1913. Tahun 1907 pertemuan
pertama dengan Freud yang terjadi di Wina membuat tali persaudaraan antara
mereka. Freud begitu menaruh kepercayaan pada Jung, sehingga Jung dianggap
sebagai seorang yang patut menggantikan Freud di kemudian hari.
Jung terkenal dengan pengetahuannya tentang simbolisme
dalam tradisi mistik, seperti Gnostisisme, Alkemi, Kabala dan tradisi-tradisi
serupa dalam agama Hindu dan Buddha. Ia adalah orang yang bisa mengetahui sisi
alam bawah sadar yang memperlihatkan diri dalam wujud-wujud simbolik. Berbeda
dengan teori Freud tentang kepribadian yang lebih bersifat mekanistis dan
berdasar ilmu alam, konsep analitis Jung mengenai kepribadian menunjukkan
usahanya untuk menginterpestasikan tingkah laku manusia dari sudut filsafat,
agama dan mistik.
Sebagai penulis, Jung sangat produktif. Tulisannya
banyak dan bidang orientasinya luas, sedang pendapatnya selalu berkembang. Oleh
karena itulah maka teori Jung sebagai kesatuan tidak mudah dipahami. Bila
disederhanakan, teori tersebut dapat dimengerti dalam rangka struktur,
dinamika, serta perkembangan kepribadian (psyche).
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana
struktur kepribadian menurut Carl Gustav Jung?
B.
Bagaimana dinamika kepribadian menurut Carl Gustav
Jung?
C.
Bagaimana perkembangan kepribadian menurut Carl Gustav
Jung?
III.
PEMBAHASAN
A. Struktur Kepribadian Menurut Carl Gustav Jung
Yang dimaksud dengan
psyche ialah totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun yang
tidak disadari. Namun, tidak seperti Freud, Jung menegaskan bahwa kebanyakan
porsi terpenting alam bawha sadar bermuara bukan dari pengalaman-pengalaman pribadi
individual namun dari eksistensi manusia yang jauh di masa lalu, sebuah konsep
yang disebut Jung sebagai alam bawah sadar kolektif. Jadi bagi Jung, alam bawah
sadar dan alam bawah sadar personal tidak begitu diprioritaskan. Menurut Jung,
jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu:
1. Alam sadar (kesadaran)
2. Alam tidak sadar (ketidaksadaran)
Fungsi keduanya
adalah penyesuaian. Alam sadar sebagai penyesuaian terhadap dunia luar,
sedangkan alam tak sadar sebagai penyesuaian terhadap dunia dalam. Batas antara
kedua alam itu tidak tetap, dapat berubah. Maksudnya, luas daerah kesadaran
atau ketidaksadarn itu dapat bertambah atau berkurang. Dalam kenyataannya,
daerah kesadaran itu hanya merupakan sebagian kecil saja dari alam kejiwaan.
1.
Struktur Alam Sadar (kesadaran)
Kesadaran adalah
pusat dari ego yang terdiri dari ingatan, pikiran dan perasaan.[1] Ego inilah yang memberi petunjuk bagaimana individu
berperilaku. Ego berisi persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan sadar.Ada dua
komponen pokok kesadaran, yaitu sebagai berikut.
a.
Sikap Jiwa
Jung mendefinisikan
sikap sebagai kecenderungan untuk berinteraksi atau bereaksi ke arah yang khas.[2] Jung melihat bahwa orang memiliki sikap yang
terintroversi sekaligus terekstraversi.
Introversi
Menurut Jung, introversi
adalah membalikkan energi psikis ke dalam sebuah orientasi terhadap
subjektivitas. Orang yang introver selalu mendengarkan dunia batin mereka
dengan semua bias, fantasi, mimpi, dan persepsi yang terinduvidualisasikan.
Segala yang dilakukannya didasarkan pada pandangan subjektif mereka.
Ekstraversi
Berlawanan dengan
introversi, ekstraversi adalah sikap yang mengarahkan energi psikis keluar
sehingga seseorang diorientasikan menuju sesuatu yang objektif dan menjauh dari
sikap yang subjektif. Orang yang ekstrover lebih banyak dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar mereka daripada dunia batin mereka sendiri.
Tidak semua manusia
intorver total atau ekstrover total. Seorang introver mirip jungkat-jungkit
yang tidak seimbang karena lebih berat pada sisi introver dan lebih ringan sisi
ekstrover, begitu pun sebaliknya. Sementara orang yang sehat secara psikologis
mencapai keseimbangan pada dua sikap ini.
Freud secara pribadi
merupakan seorang yang introver selalu menyesuaikan diri dengan mimpi-mimpi dan
kehidupan fantasinya dalam kesendirian. Namun Jung melihat bahwa teori Freud
bersifat ektrover karena dia mereduksi pengalaman-pengalaman manusia hanya
kepada dunia eksternal seks dan agresi. Jung, tentunya, melihat terorinya
sendiri sebagai teori yang seimbang, sanggup menerima baik sisi objektif maupun
subjektif.
b.
Fungsi Jiwa
Jung memaksudkan
fungsi jiwa sebagai suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tiada
berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat fungsi pokok
menjadi dua, yakni rasional dan irasional. Rasional bekerja dengan penilaian:
pikiran menilai benar-salah, dan perasaan menilai atas dasar menyenangkan-tidak
menyenangkan.
Sedangkan irrasional
semata hanya mendapat pengamatan: pendirian mendapatkan pengamatan dengan
sadar-indriah, dan intuisi mendapatkan pengamatan secara tak sadar-naluriah. Keempat
fungsi itu dimiliki oleh manusia, namun biasanya hanya salah satu saja yang
paling berkembang. Fungsi yang berkembang itu merupakan fungsi superior dan
menentukan tipe orangnya, jadi ada tipe pemikir, perasa, pendria, dan intuitif.[3]
Berpikir
(Thinking)
Berpikir ialah
intelektual logis yang menghasilkan rantai ide-ide. Tipe berpikir bisa bersifat
ekstrover atau introver, tergantung sikap dasar seseorang. Orang yang berpikir
secara ekstrover sangat mengandalkan pikiran-pikiran konkret, namun mereka bisa
juga menggunakan ide-ide abstrak jika ide-ide ini dipancarkan kepada mereka
dari luar.
Orang yang berpikir
secara introver bereaksi terhadap stimuli eksternal, namun interpretasi mereka
mengenai suatu peristiwa lebih diwarnai oleh makna internal yang mereka berikan
kepada stimuli tersebut daripada oleh fakta-fakta objektif itu sendiri.
Perasaan
(Feeling)
Jung menggunakan
istilah perasaan untuk menggambarkan proses mengevaluasi suatu ide atau
peristiwa. Fungsi perasaan harus dibedakan dari emosi. Perasaan adalah
pengevaluasian setiap aktivitas sadar, bahkan terhadap hal-hal yang dinilai
sebagai sesuatu yang tidak begitu disukai. Kebanyakan evaluasi ini tidak memiliki
kandungan emosi, namun mereka sanggup menjadi emosi jika intensitasnya
meningkat sampai ke titik penstimulasian perubahan-perubahan fisiologis dalam
diri seseorang.
Pengindraan
(Sensing)
Fungsi yang menerima
stimuli fisik dan mentransmisikannya ke alam sadar perseptual disebut sensasi
atau pengindaraan. Orang yang mengindera secara ekstrover memahami stimuli
eksternal secara objektif, kebanyakan sama dengan stimuli yang eksis dalam
realitas. Orang yang mengindera secara introver sebagian besar terpengaruh oleh
sensai-sensasi subjektif.
Pengintuisian
(Intuiting)
Intuisi melibatkan
persepsi yang melampaui kerja kesadaran. Pengintuisian didasarkan pada
serangkaian fakta yang menyediakan materi bagi pikiran dan perasaan.
c.
Pesona
Persona ialah sisi
kepribadian yang ingin ditunjukkan manusia kepada dunia. Persona merupakan
kompromi antara individu dan masyarakat, antara struktur batin sendiri dengan
tuntutan-tuntutan sekitar mengenai bagaimana seharusnya orang berbuat.[4] Bila orang dapat menyesuaikan diri ke dunia luar dan
dunia dalam dengan baik, maka persona itu akan merupakan selubung yang elastis,
yang dapat dengan lancar digunakan. Sebaliknya, jika penyesuaian itu tidak
baik, maka persona dapat merupakan topeng yang kaku untuk menyembunyikan
kelemahannya.
2.
Struktur Ketidaksadaran
ketidaksadaran
sebagai suatu lapisan psikologi yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan
tindakan manusia. Menurut Jung ketidaksadaran punya dua lapisan yaitu sebagai
berikut.
a.
Personal
Uncociousness (Ketidaksadaran Pribadi)
Personal
uncociousness mencakup segala sesuatu yang tidak disadari secara langsung, tapi
bisa diusahakan untuk disadari.[5] Ketidaksadaran pribadi adalah alam bawah sadar
seperti yang dipahami orang kebanyakan, yaitu mencakup kenangan-kenangan yang
dapat dibawa ke alam sadar dengan mudah serta kenangan-kenangan yang ditekan
karena alasan-alasan tertentu. Dan pada saat tertentu, ketidaksadaran pribadi
ini bisa muncul kembali ke kesadaran dan mempengaruhi tingkah laku.
b.
Collective
Uncociousness (Ketidaksadaran Kolektif)
Collective
uncociousness adalah sistim yang paling berpengaruh terhadap kepribadian dan
bekerja sepenuhnya di luar kesadaran orang yang bersangkutan. Sistim ini
merupakan pembawaan rasial yang mendasari kepribadian dan merupakan kumpulan
pengalaman-pengalaman dari generasi-generasi terdahulu.[6] Contoh ketidaksadaran kolektif adalah pengalaman
kreatif para seniman atau musisi di seluruh dunia dari sepanjang masa,
pengalaman mistikus dalam seluruh agama, kemiripan dalam mimpi, fantasi,
mitologi, dongeng, sastra, atau pengalaman mati suri.
Isi dari
ketidaksadaran kolektif menagaktifkan dan memengaruhi pikiran, emosi, dan
tindakan seseorang. Alam bawah kolektif bertanggung jawab pada banyak mitos,
legenda, dan keyakinan religius manusia. Ketidaksadaran kolektif tentunya tidak
disadari. Sehingga akan membuat kita bertanya-tanya mengenai bagaimana orang
dapat mengetahui atau menyadari ketidaksadaran tersebut. Ketidaksadaran
tersebut diperoleh secara tidak langsung, yaitu melalui manifestasi
ketidaksadaran yang berbentuk gejala dan kompleks, mimpi, dan arketipe.
1)
Gejala dan Kompleks
Kedua hal ini masih
dapat disadari. Symptom adalah “gejala dorongan” dari jalannya energi yang
normal, yang dapat berbentuk symptom kejasmanian maupun kejiwaan. Symptom
adalah tanda bahaya yang memberitahu bahwa ada sesuatu dalam kesadaran yang
kurang, sehingga perlu perluasan ke alam bawah sadar.
Sedangkan yang
dimaksud dengan kompleks adalah bagian kejiwaan kerpribadian yang telah
terpecah dan lepas dari kontrol kesadaran dan kemudian memiliki kehidupan
sendiri dalam kegelapan alam ketidaksadaran, yang kemudian dapat menghambat
prestasi bagi alam kesadaran.[7]
2)
Mimpi, Fantasi, dan Khayalan
Mimpi memiliki hukum
dan bahasa sendiri. Di dalam mimpi, soal-soal sebab-akibat, ruang dan waktu
tidak berlaku, bahasanya bersifat lambang dan karenanya untuk memahaminya perlu
ditafsirkan. Bagi Jung, mimpi memiliki fungsi konstruktif, yaitu
mengkompensasikan keberatsebelahan dari konflik. Mimpi sering merupakan
manifestasi daripada ketidaksadaran kolektif. Selain mimpi, Jung juga
mengemukakan pula fantasi dan khayalan sebagai bentuk manifestasi
ketidaksadaran.
3)
Arketipe
Arketipe, yaitu kecenderungan-kecenderungan yang universal dan
merupakan pembawaan pada manusia yang menyebabkan manusia bertingkah laku dan
mengalami hal-hal yang selamanya terulang.[8] Misalnya : kelahiran, kematian, mengahdapi bahya dll.
Konsep archetipe sama dengan insting dalam konsep
Freud. Tiga archetipe yang paling penting menurut Jung adalah anima,
animus, shadow.
Anima
Adalah unsur feminim atau
unsur kewanitaan, khususnya pada orang laki-laki. Anima biasanya
dipersonoifikasikan sebagai gadis kecil, yang spontan sebagai nenek sihir.
Anima lebih di asosiasikan dengan kedalaman perasaan dan kekuatan hidup itu
sendiri.
Animus
Adalah unsur maskulin
atau unsur laki-laki, khususnya pada wanita.[9]
Animus dipersonifikasikan sebagai orang bijak, seorang dukun atau sekawanan
pria yang mempunyai kecenderungan sifat logis, rasionalistik dan argumentatif.
Anima dan animus adalah archetipe yang dipakai ketika
berkomunikasi dengan alam bawah sadar kolektif dan berperan penting ketika
ingin menyelaminya. Anima dan animus juga merupakan archetipe yang paling
bertanggung jawab atas kehidupan cinta kita.[10] Misalnya ketika kita jatuh cinta pada pandangan
pertama itu berarti kita menemukan seseorang yang bisa mengisi archetipe anima
atau animus kita.
Shadow
Shadow (bayangan)
adalah archetipe kebinatangan atau disebut pula sisi jahat manusia.[11] Pada dasarnya, bayangan bersifat amoral-tidak baik,
tidak buruk, persis seperti binatang.
Jadi, ego merupakan
pusat dan merupakan tempat kontak dengan dunia luar mempunyai tugas untuk
mengadakan keseimbangan antara tuntutan dari luar dengan dorongan-dorongan yang
datang dari ketidaksadaran pribadi maupun ketidaksadaran kolektif. Dalam
tugasnya ini, ego sampai batas-batas tertentu dapat pula mengontrol
ketidaksadaran pribadi. Tetapi ego tidak mempunyai kekuatan apapun untuk
mempengaruhi ketidaksadaran kolektif, bahkan egolah yang dipengaruhi oleh
dorongan-dorongan dari ketidaksadaran kolektif itu
B.
Dinamika Kepribadian menurut Carl
Gustav Jung
Menurut Jung menyatakan bahwa kepribadian atau psyche
bersifat dinamis dengan gerak yang terus-menerus. Dinamika psyche tersebut disebabkan
oleh enerji psikis yang oleh Jung disebut libido. Dalam dinamika psyche
terdapat prinsip-prinsip sebagai berikut[12]
1) Prinsip
oposisi
Berbagai sistem, sikap, dan fungsi kepribadian saling
berinteraksi dengan tiga cara, yaitu : saling bertentangan (oppose), saling
mendukung (compensate), dan bergabung mejnadi kesatuan (synthese).
Menurut Jung, prinsip oposisi paling sering terjadi
karena kepribadian berisi berbagai kecenderungan konflik. Oposisi juga terjadi
antar tipe kepribadian, ekstraversi lawan introversi, pikiran lawan perasaa,
dan penginderaan lawan intuisi.
2) Prinsip
kompensasi
Prinsip ini berfungsi untuk menjada agar kepribadian
tidak mengalami gangguan. Misalnya bila sikap sadar mengalami frus-trasi, sikap
tak sadar akan mengambil alih. Ketika individu tidak dapat mencapai apa yang
dipilihnya, dalam tidur sikap tak sadar mengambil alih dan muncullah ekpresi
mimpi.
3) Prinsip
penggabungan
Menurut Jung, kepribadian terus-menerus berusaha
menyatukan pertentangan-pertentangan yang ada agar tercapai kepribadian yang
seimbang dan integral.
C.
Perkembangan Kepribadian menurut
Carl Gustav Jung
Jung
meyakini bahwa kepribadian berkembang lewat serangkaian tahapan yang memuncak
pada individualisasi atau realisasi diri. Jung mengelompokkan tahap hidup
menjadi empat bagian yaitu sebagai berikut.
a.
Usia Anak (Childhood)
Jung membagi
usia anak menjadi 3 tahap:
Tahap Anarkis (0-6 tahun): Ditandai dengan kesadaran yang kacau dan
sporadis (kadang ada kadang tidak). Pengalaman pada fase anarkis sering muncul
ke dalam kesadaran sebagai gambaran primitif, yang tidak dapat dijelaskan
secara akurat.
Tahap Monarkis (6-8 tahun): pada anak-anak ditandai dengan
perkembangan ego danmulainya fikiran verbal dan logika. Pada tahap ini anak
memandang dirinya secara obyektif sehingga sering secara tidak sadar mereka
menganggap dirinya sebagai orang ketiga.
Tahap Dualistik (8-12 tahun): ditandai dengan pembagian ego menjadi
2, obyektif dan subjektif. Anak ini memandang dirinya sebagai orang pertama dan
menyadari eksistensinya sebagai individu yang terpisah.[13]
b.
Usia Pemuda
Periode dari masa pubertas ke paruh baya disebut masa
muda. Anak muda berjuang meraih kemandirian psikis dan fisik dari orang tua
mereka, menemukan belahan jiwanya, membentuk keluarga, dan merebut sebuah
tempat di panggung dunia ini.
Menurut Jung, masa muda seharusnya merupakan sebuah
periode peningkatan aktivitas, kematangan seksualitas, tumbuhnya pemahaman dan
kesadaran bahwa era kanak-kanak yang bebas dari masalah tidak akan kembali
lagi. Kesulitan utama yang dihadapi di masa ini ialah menaklukkan kecenderungan
alamiah untuk mengandalkan kesadaran sempit masa kanak-kanak agar terhindar dari
masalah-masalah yang terus mengganggu seumur hidup.[14]
c.
Usia
Pertengahan
Tahap ini
dimulai antara usia 35 atau 40 tahun. Puncak perkembangan sudah lewat, tetapi
periode ini justru ditandai dengan aktualisasi potensi yang sangat bervariasi.
Pada usia ini orang yang tetap ini memakai nilai-nilai sosial dan moral usia
pemuda, menjadi kaku dan fanatik dalam mempertahankan postur dan kelenturan
fisiknya, mereka berjuang habis-habisan untuk mempertahankan tampang dan gaya
hidup masa mudanya.
Menurut Jung
kebanyakan orang tidak siap menuju usia pertengahan, dengan menganggap
nilai-nilai mudanya masih bisa berlaku sampai sekarang. Sesuatu yang mustahil, karena orang tidak
dapat hidup di masa pertengahan dengan aturan anak-anak. Apa yang bagus pada
masa anak-anak menjadi buruk pada masa pertengahan, apa yang dulu dianggap
benar kini menjadi penipuan.
Menurut
Jung, tahap ini ditandai dengan munculnya kebutuhan nilai spiritual, kebutuhan
yang selalu menjadi bagian dari jiwa, tetapi pada usia muda dikesampingkan
karena pada usia itu orang lebih tertarik dengan nilai materialistik. Pada usia
pertengahan orang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki
pekerjaan mantap, kawin, punya anak, ikut serta dalam kegiatan sosial.
d.
Usia Tua
Pada usia
tua kurang mendapat perhatian Jung. Menurutnya usia tua mirip dengan usia
anak-anak. Pada kedua tahap itu fungsi jiwa sebagian besar bekerja di tak
sadar. Pada anak-anak belum terbentuk fikiran dan kesadaran ego, sedang pada
orangtua mereka berangsur-angsur tenggelam dalam tak sadar, dan akhiranya
hilang masuk ke dalamnya. Jika pada awal kehidupan orang takut hidup (nanti
kerja apa, rumahnya dimana, dan seterusnya), pada usia tua hampir pasti orang
takut mati. Takut mati mungkin sesuatu yang normal, namun menurut Jung, mati
adalah tujuan hidup. Hidup hanya benar-benar bermakna kalau kematian dipandang
sebagai tujuan hidup.[15]
IV.
KESIMPULAN
Realisasi diri atau kelahiran kembali secara
psikologis, ialah proses untuk menjadi seorang individu atau pribadi seutuhnya.
Psikologi analitik pada esensinya merupakan psikologi mengenai hal-hal yang berlawanan,
dan realisasi diri adalah proses untuk mengintegrasikan kutub-kutub yang
berlawanan dalam satu individu tunggal yang homogen.
Proses menjadi diri sendiri berarti seseorang memiliki
semua komponen psikologis yang berfungsi dalam kesatuan, dengan melewati suatu
proses yang memanusiakannya. Orang yang melewati proses ini telah mencapai
realisasi diri, meminimkan persona, mengenali anima atau animus mereka, dan
mencapai kesemibangan antara introversi dan ekstraversi. Selain itu, individu
yang merealisasikan diri sudah mengembangkan fungsi psikologis sampai ke
tingkat superior, sebuah prestasi yang sangat sulit dicapai.
Realisasi diri sangat jarang dan hanya bisa dicapai
oleh orang yang sanggup mengasimilasikan alam bawah sadar mereka ke dalam
kepribadian total mereka. Manusia yang merealisasikan dirinya sanggup
mengembangkan dunia eksternal maupun internal mereka. Tidak seperti individu
yang terganggu secara psikologis, mereka hidup di dunia nyata, dan melakukan
konsensi yang dibutuhkan untuk itu.
[1]
Sarlito Wirawan Sarwoo, Berkenalan dengan
Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang,
1987, hal. 188.
[2] http://selawatidwi.blogspot.com/2012/06/mengenal-tokoh-psikologi-carl-gustav.html di unduh pada tanggal 19 Maret 2017. Pukul
11.00 WIB.
[3]
Sarlito Wirawan Sarwoo, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh
Psikologi, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hal. 189-190.
[4]
C. George Boeree, Personality Theories
(Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia), Cet. 2, Jogjakarta: PRISMASOPHIE,
2005, hal. 120.
[5]
C. George Boeree, Personality Theories (Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia),
Cet. 2, Jogjakarta: PRISMASOPHIE, 2005,
hal. 116.
[6] Sarlito
Wirawan Sarwoo, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, cet.
1, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hal. 188.
[7]
C. George Boeree, Personality Theories (Melacak Kepribadian
Anda Bersama Psikolog Dunia), Cet. 2, Jogjakarta: PRISMASOPHIE, 2005, hal.127.
[8]
Sarlito Wirawan Sarwito, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh
Psikologi, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. hal. 188-189.
[9]
Jonh W.M. Verhaar, Identitas Manusia, Yogyakarta:
KANISIUS (Anggota IKAPI), 1989, hal. 37.
[10]
C. George Boeree, Personality Theories (Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia),
Cet. 2, Jogjakarta: PRISMASOPHIE, 2005,
hal. 122.
[11]
C. George Boeree, Personality Theories
(Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia), Cet. 2, Jogjakarta:
PRISMASOPHIE, 2005, hal. 120.
[12]
Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang : Penerbit Universitas
Muhammadyah Malang, 2005, hal. 65.
[13] Alwisol, Psikologi
Kepribadian, Malang : Penerbit Universitas Muhammadyah Malang, 2009, hal.56
[14] http://shelliharismiramdiani.blogspot.com/2012/12/v-carl-gustav-jung-1875-1961_4.html di unduh pada tanggal 20 Maret 2017. Pukul 11.10 WIB.
[15] Alwisol, Psikologi
Kepribadian, Malang : Penerbit Universitas Muhammadyah Malang, 2009, hal.
57-58
Komentar
Posting Komentar