Hadist yang berhubungan dengan Niat

  I.            PENDAHULUAN
Niat sejatinya adalah ruh dalam beramal. Niat bukanlah kata-kata yang diucapkan ketika hendak melakukan sesuatu. Seseorang penjahat tidak mengaytakan niatnya ketika hendak membunuh orang. Namun karena telah diniatkan maka terjadilah pembunuhan itu. Seperti orang yang hendak sholat, tidaklah wajib mengucapkan niat itu, karena niat adalah kehendak yang muncul dari hati, bukan kata-kata.[1]
Sehubungan dengan niat tersebut maka dalam melaksanakan suatu hal sangatlah penting dilandaskan dengan keikhlasan. Ikhlas adalah memaksudkan ucapan, perbuatan, diam, bergerak, yang dirahasiakan, yang ditampakkan, hidup atau mati hanya untuk ridho Allah SWT.[2] Dengan demikian, niat dan ikhlas memiliki keterkaitan karena rasa ikhlas tumbuh dengan adanya kebiasaan (istiqomah) dan suatu kebiasaan tidak akan terjadi bila tidak dilandaskan dengan adanya niat yang kuat.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana bunyi hadis dan terjemahnya yang berkaitan dengan niat?
B.     Bagaimana assbabul wurud hadis tentang niat?
C.     Bagaimana penjelasan hadis tentang niat?
D.    Apa hubungan antara niat dan ikhlas?






III.            PEMBAHASAN
A.    Hadis Dan Terjemahannya

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
Artinya:  Dari Umar bin Al-Khaththab ra., ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh (dari Allah) sesuai dengan apa yang diniatkannya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (pahala) hijrahnya (dinilai) karena Allah dab Rassul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya.’ (HR. Al-Bukhori dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya)[3]

B.     Asbabul Wurud Hadis
Diriwayatkan bahwasannya ada seorang wanita yang bernama Ummu Qais yang telah dilamar oleh seseorang dan ia tdak mau dinikahi hingga calon suaminya itu hijrah. Maka hijrahlah laki-laki tersebut, lalu kami (para sahabat) menamakan orang tersebut Muhajjir Ummu Qais. Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, berkata: “Akan tetapi tidak ada riwayat shahih bahwasannya hadis innamal a’malu disebabkan oleh kisah tersebut. Aku tidak melihat sedikitpun dari jalur-jalur hadis yang jelas tentang masalah tesebut.”[4] Tetapi hadis ini disepakati keshahihannya. Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadis, yaitu: Imam Bukhari dan Imam Muslim.[5]

C.     Penjelasan Hadis
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan bargantung pada niat yaitu sesungguhnya setiap amal perbuatan sangat bergantung pada sesuatu yang maha tinggi dan mengetahui secara pasti segala rahasia yang tersembunyi. “Dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkan”. Dalam Kamus Al-Muhith disebutkan, “yang dimaksud al-mar-u ialah manusia atau seorang laki-laki”. Maksudnya tidaklah amal seseorang yang ikhtiyari qashdi (sengaja dilakukannya), kecuali ia akan mendapatkan balasan sesuai dengan “apa yang diniatkan” yaitu mendapat balasan baik atau sesuai dengan niatnya baik atau buruk, secara nafyu (penafikan) atau itsbat (penetapan). Maksud dari itsbat  yaitu menetapkan bahwa yang bersangkutan hanya akan mendapatkan apa yang diniatkan saja, sedagkan nafyu yaitu ia tidak akan meraih apa yang tidak diniatkan. Jadi, bagian dari orang yang bekerja dari jerih payahnya ialah apa yang diniatkan dari lubuk hatiya, bukan dari penampilannya.
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata,  “Ini adalah dua kalimat yang agung, yaitu kalimat pertama mengandung pengertian bahwa ‘amal ikhtiyar (amal perbuatan yang diusahakan) tidak akan menghasilkan pahala bila tidak didahului dengan niat yang tulus. Jadi, untuk amal perbuatan yang memberi peluang samarnya tujuan, maka harus diniatkan dan ditentukan dengan jelas.[6] Sabda Rasulullah SAW., yang artinya “Sesungguhnya manusia dibangkitkan menurut niat mereka”. Karena peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama menyimpulkan banyak kaidah fiqihh yang diambil dari hadis ini. Diantara kaidah tersebut adalah:
اَلْأُمُوْرُبِمَقَاصِدِهَا
Artinya: “Segala perkara tergantung pada tujuan (niat)nya.”[7]
Kalimat kedua mengandung pengertian bahwa manfaat dan bahayanya suatu perbuatan pasti kan kembali kepada pelakunya sesuai dengan niatnya.[8]
Dalam sebuah hadis menyebutkan yang artinya, “Barang siapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya, kemudian berangkat (ke masjid) lantas mendapati jamaah sudah selesai sholat, niscaya Allah akan memberikan pahala seperti orang yang mengerjakannya dan menghadirinya, yang demikian itu pahala mereka tidak dikurangi sedikitpun.” Inti dari hadis ini yang berkaitan dengan niat adalah barang siapa meniatkan sesuatu, niscaya ia akan mendapatkan pahala sekalipun belum sempat mengerjakannya karena adanya udzur syar’i, misal sakit hingga tidak bisa melaksanakan sholat berjamaah.[9]
Sebagian ulama mengatakan, “Amal perbuatan adalah usaha dari anggota badan untuk menuju Allah niat adalah usaha qalbu untuk menuju kepada-Nya. Qalbu sebagai raja sedangkan badan berperan sebagai pasukannya. Seorang raja tidak mungkin menyerang kerajaan lain kecuali didukung penuh oleh pasukannya. Seorang prajurit tidak akan menyerbu musuh kecuali diperintah oleh rajanya.” Sebagian diantara mereka berpendapat bahwa niat merupakan keinginan kemampuan keras sebagai bekal seorang hamba untuk beribadah kepada-Nya dan ia tidak akan mengijinkan secara sembunyi-sembunyi menyebut selain-Nya.
Sebagian yang lain berkata, “Niat bagi orang-orang awam dalam menggapai tujuan dan cita-cita namun melupakan keutamaan. Niat orang-orang bodoh membentangi diri dari jeleknya putusan Ilahi dan turunnya cobaan dari-Nya. Niat bagi orang-orang munafik adalah berkamuflase dihadapan Allah dan orang banyak.  Niat para ulama ialah menegakkan ketaatan demi menghargai bagian ketaatan, bukan karena menghargai ketaatan; dan niat ahli tasawuf adalah meninggalkan sikap bercanda kepada berbagai ketaatan yang mereka lakukan..”[10]

D.    Hubungan antara niat dan ikhlas
Ikhlas adalah inti ibadah dan jiwanya. Ibnu Hazm telah mengatakan bahwa niat adalah rahasia ibadah. Fungsi ikhlas dalam amal perbuatan sama dengan kedudukan ruh dalam jasad kasarnya. Tulus tidaknya niat adalah pokok yang melandasi diterima atau ditolaknya amal perbuatan dan yang menghantarkan pelakunya beroleh keberuntungan atau kerugian.[11]
Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak peduli meskipun semua penghargaan yang ada dalam kalbu orang lain lenyap kalau memang harus demikian jalannya, demi meraih kebaikan hubungan kkalbunya dengan Allah , sedang ia tidak menginginkan sama sekali ada orang yang mengetahui amal kebaikannya barang seberat dzarrah pun. Yang dimaksud kebaikan adalah mengerjakan ketaatan dengan niat yang ikhlas karena Allah serta mengamalkan ihsan lagi mengikuti tuntunan sunnah. Orang-orang yang menghendaki dari amalnya hanya keridhaan Allah, merkalah yang mendapat berita gembira balasan pahala.[12]
Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas karena Allah dalam setiap amal agar amal itu diterima disisi-Nya. Sebab setiap amal shalih mempunyai syarat agar diterima amal tersebut, yaitu:
1.      Niat ikhlas dan benar
2.      Sesuai dengan sunnah, yaitu mengikuti contoh Nabi SAW.
Apabila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tidak sah. Jadi harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah dan benar mengikuti petunjuk Nabi SAW. Zhahir (amalan)nya ittiba’ (mengikuti contoh Nabi SAW) dan batinnya ikhlas. Apabila salah satu dari keduanya rusak maka telah rusak amal tersebut, apabila hilang keikhlasan, maka orang itu akan menjadi orang munafik dan riya’ kepada manusia. Sedangkan jika hilang ittiba’-nya, maka orang itu tersesat dan jahil (bodoh).[13]
Dari penjelasan sebelumya, menurut Hasbi As-Shidiqi niat itu dibagi menjadi tiga, yaitu
1.      Niat ibadah, yaitu menghinakan diri tunduk secara sempurna, untuk menunjukkan kerendahan hatinya.
2.      Niat taat, yaitu melaksanakan apa yang Allah kehendaki.
3.      Niat qurbah, yaitu melaksanakan ibadah dengan maksud memperoleh pahala.
Sedangkan fungsi niat juga dibagi dalam tiga fungsi, yaitu:
1.        Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal, maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2.        Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan satu amal ibadah dengan amal ibadah lainnya.
3.        Niat sebagai pembeda antara amal dan adat.

IV.            KESIMPULAN
Niat merupakan bagian dari amalan hati. Bagi seorang muslim hendaknya mengetahui amalan apa yang ia lakukan sehingga amalan tersebut jelas dalam pelaksanaannya. Dan niat merupakan ruh dalam beramal. Ketika seorang muslim beramal dianjurkan dengan keikhlasan karena seuatu amal akan diterima bila dilaksanakan dengan niat yang ikhlas serta pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Dengan demikian, seorang muslim tersebut akan memperoleh pahala atas apa yang ia kerjakan serta tidak sia-sia. Segala perbuatan tergantung dari niat, maka niat itulah yang akan menuntun orang tersebut dalam melaksanakan apa yang ingi ia kerjakan. Amal takkan bernilai tanpa adanya niat namun setiap amal yang telah diniatkan meski belum dilaksanakan tetap akan bernilai pahala.




[1] Rahman Hanifan. 2008. Muslim Tangguh. Sleman: Qudsi Media. Hal. 31. 
[2] Amru Khalid. 2015. Hati Sebening Mata Air. Solo: PT Aqwam Media Profetika. Hal. 17.
[3] Yazid bin abdul Qadir Jawaz. 2011. Syarah Arba’in An-Nawawi. Pustaka Imam Syafi’i. Hal. 7.
[4] Yazid bin Abdul Qadir Jawaz. 2011. Syarah Arba’in An-Nawawi. Pustaka Imam Syafi’i. Hal.  9.
[5] Imam Nawawi. 2010. Intisari Riyadhush Shalihin. Solo: PT Aqwam Media Profetika. Hal. 14.
[6] Al-‘Alamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Ban. 2010i. Shahih Ensiklopedi Hadits Qudsi. Surabaya: Duta Ilmu. Hal. 143.
[7] Yazid bin abdul Qadir Jawaz. 2011. Syarah Arba’in An-Nawawi. Pustaka Imam Syafi’i. Hal. 15.
[8] Al-‘Alamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Ban. 2010i. Shahih Ensiklopedi Hadits Qudsi. Surabaya: Duta Ilmu. Hal. 144.
[9] Al-‘Alamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Ban. 2010i. Shahih Ensiklopedi Hadits Qudsi. Surabaya: Duta Ilmu. Hal. 143-144.
[10] Al-‘Alamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Ban. 2010i. Shahih Ensiklopedi Hadits Qudsi. Surabaya: Duta Ilmu. Hal. 145.
[11] Muhammad bin Shalih Al-Munajjid. 2008. Silsilah Amalan Hati. Bandung: Irsyad Baitus Salam. Hal. 14.
[12] Muhammad bin Shalih Al-Munajjid. 2008. Silsilah Amalan Hati. Bandung: Irsyad Baitus Salam. Hal. 15-17.
[13] Yazid bin Abdul Qadir Jawaz. 2011. Syarah Arba’in An-Nawawi. Pustaka Imam Syafi’i. Hal. 30-31.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EVALUASI HASIL PROGRAM BK

ASAS DAN TUJUAN BIMBINGAN KONSELING PERKAWINAN DAN KELUARGA ISLAMI

MANAJEMEN STRESS DALAM PSIKOLOGI KONSELING