PERTUMBUHAN AGAMA PADA ANAK DALAM PSIKOLOGI AGAMA

       I.            PENDAHULUAN
Manusia merupakan mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT  paling sempurna dari mahluk lainnya, sebab manusia dianugrahi akal dan perasaan yang mampu digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penemuan baru, namun hal tersebut di harapkan jangan menjadi kebanggaan manusia yang melebihi batas ketentuan yang telah di gariskan oleh Allah SWT. Pada saat-saat ini manusia mulai membanggakan ilmu rasionalisme yang  hanya mempercayai suatu hal yang dapat di buktikan dan dapat di ilmiahkan, sehingga mulai pudar kepercayaan  terhadap sangpencipta, oleh karena itu perlu kita fahami langkah-langkah yang tepat untuk mensosialisasikan ilmu agama islam kepada generasi penerus bangsa, maka dibawah ini di jelaskan perlunya pengetahuan agama terhadap anak-anak.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.       Apakah pengertian masa Kanak – kanak?
B.       Bagaimana Pertumbuhan Agama Pada Anak?
C.       Apa saja Sifat-Sifat Agama Pada Anak?
D.       Bagaimana Perkembangan Beragama Pada Anak?

 III.            PEMBAHASAN
A.       PENGERTIAN MASA KANAK-KANAK
Masa kanak-kanak dimulai pada akhir masa bayi sampai saat anak-matang scara seksual. Jadi mulai sekitar umur 2 tahun sampai sekitar umur 12 tahun, ada sebagian anak yang baru berumur 11 tahun sudah tidak termasuk kanak-kanak, tetapi ada juga yang sudah berumur 14 tahun masih termasuk masa kanak-kanak. Jadi tidak dapat dipastikan hanya sekitar usia itu.
Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode, yaitu awal masa kanak-kanak, sekitar umur 2 tahun – 6 tahun, dan akhir masa kanak-kanak sekitar umur 6 tahun – 12 tahun. Ada beberapa sebutan untuk masa kanak-kanak, yang sesuai dengan sifat mereka, misalnya orang tua menyebut masa yang menyulitkan, karena pada awal masa kanak-kanak, mereka cenderung menolak ungkapan kasih saying orang tua dan tidak mau ditolong. Sedangkan pada akhir masa kanak-kanak mereka tidak lagi mau menuruti perintah orang tua, dan lebih senang mengikuti aturan kelompoknya. Ada pula yang member nama masa kanak-kanak adalah usia  bermain. Hai ini karena pada awal masa kanak-kanak sebagian waktunya digunakan untuk bermain. Untuk akhir masa kanak-kanak, bukan karena banyak waktu bermain, karena anak sudah sekolah, tetapi karena luasnya minat dan kegiatan bermain.

B.            PERTUMBUHAN AGAMA PADA ANAK
Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan – latihan  yang dilalui pada masa kecilnya dulu. Seseorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, maka pada masa dewasanya nanti ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang diwaktu kecilnya mempunyai pengalaman – pengalaman agama, misalnya ibu – bapaknya orang yang tau agama, lingkungan sosial dan kawan – kawannya  juga hidup menjalankan agama,  di tambah pula dengan pendidikan agama secara secara sengaja dirumah, sekolah dan masyarakat. Maka orang – orang itu akan dengan dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan – aturan agama, terbiasa menjalankan  ibadah, takut melangkahi larangan – larangan dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.
Dalam hal ini, akan di bahas bagaimana langkah – langkah timbulnya kepercayaan agama pada anak – anak, apa factor – factor yang mempengaruhinya dan perkembangannya, karena jika anak – anak di biarkan saja tanpa didikan agama dan hidup dalam lingkungan yang tidak beragama, ia akan menjadi dewasa tanpa agama.
Berikut adalah langkah – langkah yang dapat menimbulkan jiwa agama pada anak :
1.      Mengenalkan agama pada si anak
Anak – anak mulai mengenal Tuhan melalui bahasa, dari kaa – kata orang  yang ada dalam lingkungannya, yang pada permulaan diterimanya secara acuh tak acuh saja. Akan tetapi setelah ia melihat orang – orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit dgelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat di lihatnya itu, mungkin ia kan ikut membaca dan mengulang kata – kata yang di ucapkan oleh orang tuanya.  

Pada permulaan adalah karena ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenagkan ataupun yang menyusahkan. Akan tetapi, setelah ia menyaksikan reaksi dari orang – orang disekelilingnya, yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu, maka timbullah pengalamn tertentu, yang makin lama makin meluas dan melailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh. Biasanya pengalaman itu pada mulanya tidak menyenangkan, karena  merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya, karena itulah maka perhatian anak – anak tentang Tuhan pada permulaan merupakan sumber kegelisahan atau ketidak senangannya. Itulah sebabnya barangkali, maka anak – anak ittu sering menanyakan tentang zat, tempat dan perbuatan Tuahn dan pertanyaan lain yang bertujuan untuk mengurangka kegelisahan. Lalu timbullah sesudah itu keinginan untuk menentangnya atau mengingkarinya.

2.      Hubungan anak dengan orang tua
Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalnya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikiran nya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya dipermulaan hidupnya dahulu.
Perasaan anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks, ia adalah campuran dari bermacam – macam emosi dan dorongan yang selalu melakukan interaksi , pertentangan dan memuncak pada umur menjelang 3 tahun, yaitu umur diman hubungannya dengan ibunya tidak lagi terbatas kepada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi telah meningkatnya kepada hubungan emosi, dimana ibu menjadi obyek yang di cintai dan butuh akan kasih sayangnya. Bahkan juga mengandung rasa permusuahn bercampur bangga, butuh, takut dan cinta kepadanya sekaligus. Disinilah timbul rasa dosa yang disebabkan bukan karena kesalahan yang diperbuat, akan tetapi  karena timbulnya keinginan untuk melakuakan yang terlarang.
Maka untuk menyelamatkan diri dari pertentangan batin itu si anak mengambil sifat – sifat kepribadian bapak atau ibunya untuk dirinya, dengan demikian sebagaian dari kekuatan luar  berpindah ke dalam dirinya (super-ego) yang akan jadi pengawas dari keinginan dan dorongan yang erlarang, maka dengan itu ia mencari kerelaannya.

3.      Kelahiran dan kematian
Pengertian si anak tentang masalah mati membawa suatu prinsip pikiran yang baru, yaitu prinsip sebab – musabab hal ini membawa suatu prinsip pikiran yang baru yang terlihat bekasnya dalam segala segi, demikian juga terhadap gambaran si anak tentang Tuhan. Sebelum umur 7 tahun, belum ada dalam pikiran si anak tentang Tuhan sebagai sebab. Jika anak mengembalikan kepada Tuhan apapun yang terjadi, hal ini adalah karena dahulu ia menyangka bahwa segala sesuatu terjadi karena kemauannya sendiri, kemudian karena bapaknya dan akhirnya karena kehendak Tuhan. Jadi pikirannya belum mencakup sebab-sebab hanya sebab yang tidak logis, yaitu karena kemauannya pribadi tanpa alas an.
Setelah si anak sampai kepada pemikiran tentang kejadian dan kelahiran, dapatlah ia sesudah itu berfikir tentang Tuhan tanpa memikirkan hubungannya dengan kemanusia, artinya hubungan Tuhan dengan kemanusiaan  seluruhnya adalah satu langkah pendahuluan kearah pemikiran  tentang hubungan tuhan dengan alam semesta, hal ini tidak terjadi pada umur sebelum 8 tahun atau 9 tahun. Kendatipun lingkungannya banyak menceritakan kepada anak umur 5 tahun, tentang kejadian nabi Adam sebagai manusia pertama, maka bagi si anak Nabi Adam tidak berbeda dengan seseorang seperti bapaknya yang juga dilahirkan. Artinya penciptaan di sini berarti kelahiran.

4.             Tuhan sebagai keharusan moral bagi anak
Sesungguhnya pertumbuhan kesadaran moral pada anak  menyebabkan agama pada anak-anak mendapatkan lapangan baru (moral) maka bertambah pula perhatiannya terhadap nasehat-nasehat agama dan kitab suci baginya tidak lagi merupakan kumpulan undang-undang yang adil yang dengan itu Allah menghukum dan mengatur dunia guna menunjukan kita kapada kebaikan.
Surga dan neraka tidak lagi kepercayaan yang merupakan macam-macam hal dari khayalan, akan tetapi telah merupakan keharusan moral yang dibutuhkan oleh anak guna mengekang dirinya dari kesalahan-kesalahan dan mengimbangi kekurangan yang terasa olehnya dan ia merasakan pula perlunya keadilan Tuhan. Tuhan disamping menjadi sandaran emosi juga penolong moral yang berarti penolong anak-anak dalam menghadapi dorongan- dorongan jahat yang timbul dalam hatinya. Tuhan juga perlu untuk menyempurnakan gambarannya tentang kebaikan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dosa, pahala, dan sebagainya.

5.      Allah dan perasaan sosial
Dengan timbulnya sifat-sifat moral bagi agama, tercakup di dalamnya peningkatan rasa sosial di mana si anak memandang bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari pada nilai-nilai keluarga. Disamping itu dapat dirasakan bahwa anak-anak mulai mengerti bahwa agama bukanlah kepercayaan pribadi atau keluarga, tapi adalah kepercayaan masyarakat seluruhnya. Hal ini bertumbuh tidak saja karena pertumbuhan kecerdasan dan perkembangan rasa sosial, akan tetapi juga oleh pengaruh hubungannya yang memandang segi-segi sosial dari agama seperti sembahyang berjamaah, pelajaran-pelajaran di sekolah dan sebagainya. [1]

  
C.           SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK
Agama pada anak-anak membawa ciri tersendiri, dengan menampakkan pasang surut kognitif, afektif, dan volisional (kemauan). Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agam itu sendiri. Sifat agama anak mengikuti pola ideas concept on authority, artinya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor luar dari mereka. Ketaatan mereka pada ajaran merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka, yang dipelajari dari orang tua atau guru mereka. Bagi anak, sangatlah mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa, walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.[2]
Pengalaman awal dan emosional dengan orang tua dan orang dewasa merupakan dasar dimana hubungan keagamaan di masa mendatang dibangun. Untuk selanjutnya, sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam, yaitu:
1.             Unreflective ( kurang mendalam/tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekadarnya sajam dan mereka puas dengan keterangan yang kadang-kadang masuk akal. Menurut penelitian , pemikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral. Di usia ini pun anak yang kurang cerdas menunjukkan pemikiran yang kreatif.

2.             Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian Piager tentang bahasa pada anak berusia 3-7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Bagi anak, bahasa tidaklah menyangkut orang lain, tetapi lebih merupakan “monolog” dan “monolog kolektif” yaitu merupakan bahasa egosentris, bukan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan gagasan dan informasi, lebih-lebih merupakan pernyataan atau penegasan diri dihadapan orang lain.
3.             Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai “bagaimana” dan “mengapa” biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religious yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.

4.             Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntutan yang diajarkan pada mereka.
5.             Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang pernanan penting. Pendidikan sikap religious anak pada dasarnya tidak terbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan atau peragaan hidup yang nyata.[3]
6.             Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak.berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heramn pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum apada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan openjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan sangat penting. 

D.    TAHAP PERKEMBANGAN BERAGAMA PADA ANAK
Timbulnya jiwa keagamaan pada anak-anak merupakan sebuah proses yang dilewati oleh seseorang untuk mengenal Tuhannya. Sejak manusia  dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan ynag bersifat laten yakni fitrah keberagaman. Potensi ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dari orang yang lebih dewasa dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini.
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak  itu melalui beberapa fase. Dalam bukunya The Development of religious on children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tingkatan yaitu:
1.      The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tahap ini terjadi pada anak berumur 3-6 tahun. Konsepnya mengenai  Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng-dongeng.
2.      The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai  bapak beralih pada Tuhan sebagai Pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau lohika. Pada tahap ini terdapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun di pandang sebagai permualaan pertumbuhan logika, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dan dipukuli bila melanggarnya.
3.      The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembanganusia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a.       Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b.      Kosnep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal/perorangan.
c.       Konsep ketuhanan yang bersifat humanistic, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam mengahayati ajaran agama.[4]


 IV.            KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa setiap kehidupan pada usia anak adalah usia bermain, sehingga dalam mengenal agama belum tersimak secara nalar, namun dengan kita kenalkan agama kepada anak dengan cara mengenalkan dan menekankan ajaran dan pengetahuan terhadap agama islam, yaitu dengan sistim memberikan hadiah kepada anak yang sudah mau melaksanakan ajaran dan pendidikan agama, maka hal ini akan berjalan lebih mudah ketimbang dengan sistem penekanan secara keras.


    V.            PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan kedepan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.





DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
E.Papalia. Human Development, PT: Salemba Humanika
Raharjo. Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012
Sururin. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
W.Santrock, John. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007


[1] Zakiah, Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1976 hlm 48
[2] Zakiah, Daradjat. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang. 1976 hlm 48
[3] Sururin. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004 hlm 57-61
[4] Raharjo, Ilmu Jiwa Agama, Semarang: Pustaka Rizki Putra, hlm 26-29

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EVALUASI HASIL PROGRAM BK

ASAS DAN TUJUAN BIMBINGAN KONSELING PERKAWINAN DAN KELUARGA ISLAMI

MANAJEMEN STRESS DALAM PSIKOLOGI KONSELING